Kamis, 27 September 2012

Bagian 2 dari 4 Tulisan Timbulnya Ketegangan


Hampir setahun lamanya suasana tegang menyelimuti Tanah Batak. Hal ini terjadi justru pada saat Sisingamangaraja XII naik takhta pada tahun 1876, menggantikan ayahnya. Sisingamangaraja XII menganggap bahwa ekspansi Belanda dengan dalih perluasan atau penyebaran agama Kristen, jelas akan membahayakan Tanah Batak dan menggoyakhkan kedudukannya sebagai pemimpin Tanah Batak yang berpusat di Bakkara, Tapanuli Utara. Seperti lazimnya raja-raja di daerah lainnya, Sisingamangaraja XII pun dipandang oleh masyarakat Batak tidak hanya sebagai seorang pemimpin politik saja, tetapi juga seorang raja yang bersifat “ilahi”, yang memiliki kekuataan kharismatik yang dapat memberi keselamatan,
perlindungan, dan kesejahteraan kepada rakyatnya.
Setelah Sisingamangaraja XII naik takhta, ia pun kemudian mengadakan rapat di Bakkara dengan para panglimanya. Ia menyampaikan pidato-pidato keliling daerah dengan tujuan mengajak rakyat untuk menghentikan kegiatan orang-orang Belanda yang merugikan orang Batak. Dalam rapat di Bakkara itu, Sisingamangaraja XII dan para panglimanya membicarkan siasat dan strategi pertempuran yang akan dilakukan sebagai persiapan melawan Belanda. Di antara para panglima itu terdapat pula mantan pejuang Perang Paderi di Sumatra Barat.
Dalam rapat tersebut Sisingamangaraja XII mendengar dan mempertimbangkan saran-saran dan nasihat-nasihat dari panglima mantan pejuang Perang Paderi yang usianya lebih tua dibandingkan Sisingamangaraja XII, karena para panglima tersebut dianggap telah berpengalaman dalam bidang peperangan. Akan tetapi, keputusan terakhir tetap terletak di tangan Sisingamangaraja XII. Jadi seluruh panglima pasukan tersebut harus tunduk dan hormat kepada Sisingamangaraja XII yang sekaligus memegang komando tertinggi atas seluruh pasukan Batak.
Sementara itu di pihak Belanda sendiri, Residen Boyle di Sibolga sibuk pula mengatur siasat dan strategi serta cara yang akan dijalankan untuk menghancurkan pasukan Sisingamangaraja XII. Dalam rapat ini diambil keputusan yang sekaligus juga perintah dari Residen Boyle kepada seluruh anggotanya sebagai berikut:
  1. Benteng di Sibolga harus diperkuat dan diperbesar. Bersamaan dengan itu pula serdadu-serdadu Belanda harus ditambah; untuk keperluan ini pasukan-pasukan tambahan akan didatangkan dari Padang.
  2. Kontrolir Howel didampingi oleh Kapten Scheltens dengan beberapa pengawal akan pergi ke Pearaja untuk mengadakan penyelidikan.
  3. Perang urat saraf akan lebih digiatkan lagi dan akan dipusatkan di daerah-daerah seperti daerah Tarutung dan Pearaja.
  4. Propaganada-propaganda yang menyatakan bahwa pasukan Belanda akan menjadi pelindung dan pembela orang-orang yang beragama Kristen di Tanah Batak agar diperluas untuk menarik simpati rakyat Tanah Batak.
Rencana Residen Boyle ini ternyata berjalan dengan baik sekali, sebab kemudian serdadu-serdadu Belanda mulai berdatangan dari Padang untuk memperkuat pasukan Belanda yang ada di daerah Sibolga. Selain itu, didatangkan pula peralatan perang yang modern seperti senjata-senjata, amunisi dan meriam serta bahan-bahan makanan untuk keperluan peperangan melawan Sisingamangaraja XII. Benteng pertahanan di Sibolga diperkuat dan diperbanyak sedangkan gudang-gudang senjata dibuat untuk menyimpan perlengkapan perang yang didatangkan dari Padang. Untuk membangun semuanya itu, mereka menggunakan tenaga-tenaga kasar yang diambil dari bekas orang-orang hukuman dari Sawahlunto, Sumatra Barat.
Bersamaan dengan itu, kontrolir Howel dan Kapten Scheltens beserta pembantu-pembantunya telah siap pula untuk mengadakan suatu penyelidikan guna mengetahui situasi dan kondisi masyarakat di sekitar Pearaja. Hasil dari penyelidikian ini nantinya akan digunakan sebagai bahan masukan bagi kepentingan militer Belanda, jika kelak terjadi perang antara pihak Belanda dan Sisingamangaraja XII. Mula-mula mereka berpura-pura hendak menemui Pendeta Dr. Ludwig Von Nommensen di Pearaja, karena pendeta ini mengetahui banyak seluk-beluk keadaan daerah setempat. Misi rahasia ini dilakukan pihak Belanda secara diam-diam. Keberadaan pendeta di Tanah Batak telah ada sejak masa pemerintahan Sisingamangaraja XI, yang memberi kesempatan kepada pendeta tersebut untuk bekerja dalam tugas menyebarkan agama Kristen.
Setelah penyelidikan tersebut selesai, Kontrolir Howel, Kapten Scheltens, ajudan dan para pembantunya menuju ke Sibolga untuk melaporakan hasil tugasnya selama di Pearaja kepada Residen Boyle. Residen Boyle sangat puas dengan hasil yang dilakukan oleh Kontrolir Howel dan kawan-kawannya.

Keadaan Bertambah Panas dan Peran Nommensen

Karena suasana semakin lama semakin tegang, rakyat bersiap-siap untuk menghadapi perang melawan Belanda. Salah satu persiapan mereka adalah mengumpulkan bahan-bahan makanan. Sedangkan salah satu keputusan rapat komando tertinggi yang dipimpin oleh Sisingamangaraja XII adalah melatih kurang lebih 100 orang pemuda tangkas yang sehat dan besar badannya untuk dijadikan sebagai komandan-komandan regu. Keputusan lain yang diambil adalah melatih sejumlah yang telah ada. Pelajaran-pelajaran teori dan latihan kurang lebih 3 bulan, sedangkan massa rakyat dikerahkan untuk memperkuat pertahanan. Mereka dipersenjatai dengan berbagai macam senjata seperti tombak, pedang, golok dan senapan-senapan yang dibuat oleh pabrik senjata Laguboti, dekat Balige. Pabrik ini merupakan perbengkelan terbesar dalam pembuatan berbagai macam tombak dan senjata dengan berbagai ukuran. Di samping itu pula dibuat racun di sekitar hutan Lumban Lobu.
Di salah satu tempat di Bakkara yang menjadi pusat pemerintahan Sisingamangaraja XII juga terdapat bengkel-bengkel pembuatan senjata, tetapi bengkel yang terdapat di Laguboti merupakan bengkel yang terbesar dalam pembuatan senjata-senjata perang. Selain kesiapan fisik, mereka juga siap mental dengan semangat juang yang tinggi dalam berperang.
Sisingamangaraja XII selalu mengingatkan seluruh rakyatnya akan datangnya bahaya serangan musuh. Dalam waktu yang singkat, ia telah berhasil memobilisasi rakyat Tanah Batak untuk selalu siap siaga menghadapi serangan musuh. Kedua belah pihak telah siap untuk bertempur. Dalam situasi yang seperti ini Pendeta Nommensen menjadi takut dan ia sadar kalau peperangan sampai terjadi, dengan sendirinya misinya akan sangat terganggu. Oleh karena itu, ia berusaha agar peperangan tidak dilakukan di daerah kekuasaannya, yaitu di daerah Pearaja.
Namun, keadaan bertambah panas. Pasukan-pasukan Belanda makin diperkuat dan dipusatkan di kota Tarutung. Pasukan-pasukan Belanda yang ada di Singkil dan Sibolga juga dipindahkan ke daerah Tarutung. Sisingamangaraja XII menyadari dan memperhatikan gerak-gerik Belanda. Ia sama sekali tidak dapat menerima pendudukan Belanda atas sebagian dari Tanah Batak, seperti pada saat pemerintahan Sisingamangaraja XI.
Dalam keadaan sangat genting ini, Pendeta Nommensen berusaha untuk mencegah peperangan. Ia mendekati Residen Boyle dan mengajukan usul agar jangan melakukan tindakan-tindakan yang dapat menimbulkan peperangan. Pada hakikatnya, Residen Boyle tidak dapat menyetujui usul pendeta itu, karena ia berpikir pasukannya jauh lebih kuat dibandingkan dengan laskar Tanah Batak. Motivasi tindakan Bolyle untuk berpura-pura menyetujui usul yang diajukan oleh pendeta Nommensen bukanlah agar suasana damai terjadi di kalangan penduduk, melainkan agar orang Batak yang ada di Sumatera Utara dan sekitarnya yang masih setia dan taat kepada Sisingamangaraja XII tunduk kepada politik kolonial Belanda secara menyeluruh.
Walaupun demikian, Residen Boyle mengirimkan surat kepada Sisingamangaraja XII. Hal ini dimaskudkan untuk menghormati Pendeta Nommensen yang mengajukan usul agar jangan diambil tindakan-tindakan kekerasan terhadap pasukan Sisingamangaraja XII, sehingga dapat menimbulkan pecahnya peperangan antara pasukan Sisingamangaraja XII dengan pasukan Belanda.
Dalam surat tersebut Residen Boyle meminta Sisingamangaraja XII dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapai secara damai. Sisingamangaraja XII segera membalas surat tersebut dan meminta kesediaan Residen Boyle untuk mengadakan perundingan di daerah Pintu Bosi, dekat dengan daerah Bahal Batu, dengan syarat agar Residen Boyle tidak membawa senjata dan hanya didampingi oleh dua orang pembantunya. Sedangkan Pendeta Nommensen diikutsertakan dalam perundingan itu sebagai juru bahasa.
Mengingat syarat-syarat yang diajukan oleh Sisingamangaraja XII, Residen Boyle menolak berunding di Pintu Bosi. Bahkan ia meminta agar Sisingamangaraja XII yang menemuinya di Bahal Batu. Surat ini kemudian diserahkan kepada seorang kurir untuk disampaikan kepada Sisingamangaraja XII, namun dengan tegas ia menolak syarat-syarat yang diajukan oleh Boyle. Dengan demikian, jalan damai sudah tertutup rapat karena kedua belah pihak menolak syarat-syarat yang diajukan pihak lain, sehingga keadaan bertambah genting.
Rencana Residen Boyle hendak menjebak Sisingamangaraja XII mengalami kegagalan. Bukti bahwa Residen Boyle hendak menangkap Sisiangamangaraja XII dapat diketahui ketika ia mengirim surat kepada Raja sekaligus bersama itu pula ia memerintahkan agar benteng di Bahal Batu diperkuat dengan jalan mendatangkan serdadu Belanda dari Singkil sebanyak 100 orang yang dipimpin langsung oleh Kapten Scheltens dan Howel. Selain itu, Boyle juga mengirimkan 50 pucuk senapan lengkap dengan amunisinya kepada orang-orang Kristen yang ada di daerah Silindung.
Di pihak lain, Sisingamangaraja XII bersiap-siap pula untuk menghadapi pertempuran melawan Belanda. Strategi yang dilakukan Belanda untuk melawan Sisingamangaraja XII adalah dengan cara:
  1. Akan memberikan hadiah uang sebesar 2000 gulden bagi yang bisa menangkap Sisingamangaraja XII, hidup atau mati
  2. Belanda berusaha mempersempit daerah ruang gerak Sisingamagnaraja XII
  3. Belanda menambah jumlah personilnya dengan bekas tentara yang turut dalam perang Aceh.
Strategi yang dilakukan Sisingamangaraja XII dalam menghadapi serangan Belanda, memiliki dua cara pertahanan, yaitu: benteng alam dan benteng buatan.
Benteng alam ini terdiri dari pegunungan-pegunungan, baik yang berhutan lebat maupun yang berhutan gundul, jurang-jurang yang terjal dan curam, padang-padang ilalang, tanah-tanah becek serta sungai-sungai dalam dan deras. Benteng alam ini terdapat di dataran tinggi Toba dan Silindung.
Yang dimaksud dengan benteng buatan adalah pertahanan yang berbentuk empat persegi panjang yang dikelililngi oleh pagar yang terbuat dari batu-batu. Tembok bagian luar ditanami bambu berduri, dan pada bagian paling luar dari benteng pertahanan itu dibuat selokan atau got yang dalam untuk mempersulit musuh masuk ke dalam benteng. Pintu msuk hanya dibuat beberapa buah dengan ukuran kecil dan sempit, sehingga musuh yang masuk ke dalam benteng tidak dapat masuk secara serentak. Pintu pertahanan tersebut dapat dibuka dan ditutup dengan suatu alat pengangkat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar