Hampir setahun lamanya suasana tegang menyelimuti Tanah Batak. Hal
ini terjadi justru pada saat Sisingamangaraja XII naik takhta pada tahun
1876, menggantikan ayahnya. Sisingamangaraja XII menganggap bahwa
ekspansi Belanda dengan dalih perluasan atau penyebaran agama Kristen,
jelas akan membahayakan Tanah Batak dan menggoyakhkan kedudukannya
sebagai pemimpin Tanah Batak yang berpusat di Bakkara, Tapanuli Utara.
Seperti lazimnya raja-raja di daerah lainnya, Sisingamangaraja XII pun
dipandang oleh masyarakat Batak tidak hanya sebagai seorang pemimpin
politik saja, tetapi juga seorang raja yang bersifat “ilahi”, yang
memiliki kekuataan kharismatik yang dapat memberi keselamatan,
perlindungan, dan kesejahteraan kepada rakyatnya.
Setelah Sisingamangaraja XII naik takhta, ia pun kemudian mengadakan
rapat di Bakkara dengan para panglimanya. Ia menyampaikan pidato-pidato
keliling daerah dengan tujuan mengajak rakyat untuk menghentikan
kegiatan orang-orang Belanda yang merugikan orang Batak. Dalam rapat di
Bakkara itu, Sisingamangaraja XII dan para panglimanya membicarkan
siasat dan strategi pertempuran yang akan dilakukan sebagai persiapan
melawan Belanda. Di antara para panglima itu terdapat pula mantan
pejuang Perang Paderi di Sumatra Barat.
Dalam rapat tersebut Sisingamangaraja XII mendengar dan
mempertimbangkan saran-saran dan nasihat-nasihat dari panglima mantan
pejuang Perang Paderi yang usianya lebih tua dibandingkan
Sisingamangaraja XII, karena para panglima tersebut dianggap telah
berpengalaman dalam bidang peperangan. Akan tetapi, keputusan terakhir
tetap terletak di tangan Sisingamangaraja XII. Jadi seluruh panglima
pasukan tersebut harus tunduk dan hormat kepada Sisingamangaraja XII
yang sekaligus memegang komando tertinggi atas seluruh pasukan Batak.
Sementara itu di pihak Belanda sendiri, Residen Boyle di Sibolga
sibuk pula mengatur siasat dan strategi serta cara yang akan dijalankan
untuk menghancurkan pasukan Sisingamangaraja XII. Dalam rapat ini
diambil keputusan yang sekaligus juga perintah dari Residen Boyle kepada
seluruh anggotanya sebagai berikut:
- Benteng di Sibolga harus diperkuat dan diperbesar. Bersamaan dengan itu pula serdadu-serdadu Belanda harus ditambah; untuk keperluan ini pasukan-pasukan tambahan akan didatangkan dari Padang.
- Kontrolir Howel didampingi oleh Kapten Scheltens dengan beberapa pengawal akan pergi ke Pearaja untuk mengadakan penyelidikan.
- Perang urat saraf akan lebih digiatkan lagi dan akan dipusatkan di daerah-daerah seperti daerah Tarutung dan Pearaja.
- Propaganada-propaganda yang menyatakan bahwa pasukan Belanda akan menjadi pelindung dan pembela orang-orang yang beragama Kristen di Tanah Batak agar diperluas untuk menarik simpati rakyat Tanah Batak.
Rencana Residen Boyle ini ternyata berjalan dengan baik sekali, sebab
kemudian serdadu-serdadu Belanda mulai berdatangan dari Padang untuk
memperkuat pasukan Belanda yang ada di daerah Sibolga. Selain itu,
didatangkan pula peralatan perang yang modern seperti senjata-senjata,
amunisi dan meriam serta bahan-bahan makanan untuk keperluan peperangan
melawan Sisingamangaraja XII. Benteng pertahanan di Sibolga diperkuat
dan diperbanyak sedangkan gudang-gudang senjata dibuat untuk menyimpan
perlengkapan perang yang didatangkan dari Padang. Untuk membangun
semuanya itu, mereka menggunakan tenaga-tenaga kasar yang diambil dari
bekas orang-orang hukuman dari Sawahlunto, Sumatra Barat.
Bersamaan dengan itu, kontrolir Howel dan Kapten Scheltens beserta
pembantu-pembantunya telah siap pula untuk mengadakan suatu penyelidikan
guna mengetahui situasi dan kondisi masyarakat di sekitar Pearaja.
Hasil dari penyelidikian ini nantinya akan digunakan sebagai bahan
masukan bagi kepentingan militer Belanda, jika kelak terjadi perang
antara pihak Belanda dan Sisingamangaraja XII. Mula-mula mereka
berpura-pura hendak menemui Pendeta Dr. Ludwig Von Nommensen di Pearaja,
karena pendeta ini mengetahui banyak seluk-beluk keadaan daerah
setempat. Misi rahasia ini dilakukan pihak Belanda secara diam-diam.
Keberadaan pendeta di Tanah Batak telah ada sejak masa pemerintahan
Sisingamangaraja XI, yang memberi kesempatan kepada pendeta tersebut
untuk bekerja dalam tugas menyebarkan agama Kristen.
Setelah penyelidikan tersebut selesai, Kontrolir Howel, Kapten
Scheltens, ajudan dan para pembantunya menuju ke Sibolga untuk
melaporakan hasil tugasnya selama di Pearaja kepada Residen Boyle.
Residen Boyle sangat puas dengan hasil yang dilakukan oleh Kontrolir
Howel dan kawan-kawannya.
Keadaan Bertambah Panas dan Peran Nommensen
Karena suasana semakin lama semakin tegang, rakyat bersiap-siap untuk
menghadapi perang melawan Belanda. Salah satu persiapan mereka adalah
mengumpulkan bahan-bahan makanan. Sedangkan salah satu keputusan rapat
komando tertinggi yang dipimpin oleh Sisingamangaraja XII adalah melatih
kurang lebih 100 orang pemuda tangkas yang sehat dan besar badannya
untuk dijadikan sebagai komandan-komandan regu. Keputusan lain yang
diambil adalah melatih sejumlah yang telah ada. Pelajaran-pelajaran
teori dan latihan kurang lebih 3 bulan, sedangkan massa rakyat
dikerahkan untuk memperkuat pertahanan. Mereka dipersenjatai dengan
berbagai macam senjata seperti tombak, pedang, golok dan senapan-senapan
yang dibuat oleh pabrik senjata Laguboti, dekat Balige. Pabrik ini
merupakan perbengkelan terbesar dalam pembuatan berbagai macam tombak
dan senjata dengan berbagai ukuran. Di samping itu pula dibuat racun di
sekitar hutan Lumban Lobu.
Di salah satu tempat di Bakkara yang menjadi pusat pemerintahan
Sisingamangaraja XII juga terdapat bengkel-bengkel pembuatan senjata,
tetapi bengkel yang terdapat di Laguboti merupakan bengkel yang terbesar
dalam pembuatan senjata-senjata perang. Selain kesiapan fisik, mereka
juga siap mental dengan semangat juang yang tinggi dalam berperang.
Sisingamangaraja XII selalu mengingatkan seluruh rakyatnya akan
datangnya bahaya serangan musuh. Dalam waktu yang singkat, ia telah
berhasil memobilisasi rakyat Tanah Batak untuk selalu siap siaga
menghadapi serangan musuh. Kedua belah pihak telah siap untuk bertempur.
Dalam situasi yang seperti ini Pendeta Nommensen
menjadi takut dan ia sadar kalau peperangan sampai terjadi, dengan
sendirinya misinya akan sangat terganggu. Oleh karena itu, ia berusaha
agar peperangan tidak dilakukan di daerah kekuasaannya, yaitu di daerah
Pearaja.
Namun, keadaan bertambah panas. Pasukan-pasukan Belanda makin
diperkuat dan dipusatkan di kota Tarutung. Pasukan-pasukan Belanda yang
ada di Singkil dan Sibolga juga dipindahkan ke daerah Tarutung.
Sisingamangaraja XII menyadari dan memperhatikan gerak-gerik Belanda. Ia
sama sekali tidak dapat menerima pendudukan Belanda atas sebagian dari
Tanah Batak, seperti pada saat pemerintahan Sisingamangaraja XI.
Dalam keadaan sangat genting ini, Pendeta Nommensen berusaha untuk
mencegah peperangan. Ia mendekati Residen Boyle dan mengajukan usul agar
jangan melakukan tindakan-tindakan yang dapat menimbulkan peperangan.
Pada hakikatnya, Residen Boyle tidak dapat menyetujui usul pendeta itu,
karena ia berpikir pasukannya jauh lebih kuat dibandingkan dengan laskar
Tanah Batak. Motivasi tindakan Bolyle untuk berpura-pura menyetujui
usul yang diajukan oleh pendeta Nommensen bukanlah agar suasana damai
terjadi di kalangan penduduk, melainkan agar orang Batak yang ada di
Sumatera Utara dan sekitarnya yang masih setia dan taat kepada
Sisingamangaraja XII tunduk kepada politik kolonial Belanda secara
menyeluruh.
Walaupun demikian, Residen Boyle mengirimkan surat kepada
Sisingamangaraja XII. Hal ini dimaskudkan untuk menghormati Pendeta
Nommensen yang mengajukan usul agar jangan diambil tindakan-tindakan
kekerasan terhadap pasukan Sisingamangaraja XII, sehingga dapat
menimbulkan pecahnya peperangan antara pasukan Sisingamangaraja XII
dengan pasukan Belanda.
Dalam surat tersebut Residen Boyle meminta Sisingamangaraja XII dapat
menyelesaikan persoalan yang dihadapai secara damai. Sisingamangaraja
XII segera membalas surat tersebut dan meminta kesediaan Residen Boyle
untuk mengadakan perundingan di daerah Pintu Bosi, dekat
dengan daerah Bahal Batu, dengan syarat agar Residen Boyle tidak
membawa senjata dan hanya didampingi oleh dua orang pembantunya.
Sedangkan Pendeta Nommensen diikutsertakan dalam perundingan itu sebagai
juru bahasa.
Mengingat syarat-syarat yang diajukan oleh Sisingamangaraja XII,
Residen Boyle menolak berunding di Pintu Bosi. Bahkan ia meminta agar
Sisingamangaraja XII yang menemuinya di Bahal Batu. Surat ini kemudian
diserahkan kepada seorang kurir untuk disampaikan kepada
Sisingamangaraja XII, namun dengan tegas ia menolak syarat-syarat yang
diajukan oleh Boyle. Dengan demikian, jalan damai sudah tertutup rapat
karena kedua belah pihak menolak syarat-syarat yang diajukan pihak lain,
sehingga keadaan bertambah genting.
Rencana Residen Boyle hendak menjebak Sisingamangaraja XII mengalami
kegagalan. Bukti bahwa Residen Boyle hendak menangkap Sisiangamangaraja
XII dapat diketahui ketika ia mengirim surat kepada Raja sekaligus
bersama itu pula ia memerintahkan agar benteng di Bahal Batu diperkuat
dengan jalan mendatangkan serdadu Belanda dari Singkil sebanyak 100
orang yang dipimpin langsung oleh Kapten Scheltens dan Howel. Selain
itu, Boyle juga mengirimkan 50 pucuk senapan lengkap dengan amunisinya
kepada orang-orang Kristen yang ada di daerah Silindung.
Di pihak lain, Sisingamangaraja XII bersiap-siap pula untuk
menghadapi pertempuran melawan Belanda. Strategi yang dilakukan Belanda
untuk melawan Sisingamangaraja XII adalah dengan cara:
- Akan memberikan hadiah uang sebesar 2000 gulden bagi yang bisa menangkap Sisingamangaraja XII, hidup atau mati
- Belanda berusaha mempersempit daerah ruang gerak Sisingamagnaraja XII
- Belanda menambah jumlah personilnya dengan bekas tentara yang turut dalam perang Aceh.
Strategi yang dilakukan Sisingamangaraja XII dalam menghadapi
serangan Belanda, memiliki dua cara pertahanan, yaitu: benteng alam dan
benteng buatan.
Benteng alam ini terdiri dari pegunungan-pegunungan, baik yang
berhutan lebat maupun yang berhutan gundul, jurang-jurang yang terjal
dan curam, padang-padang ilalang, tanah-tanah becek serta sungai-sungai
dalam dan deras. Benteng alam ini terdapat di dataran tinggi Toba dan
Silindung.
Yang dimaksud dengan benteng buatan adalah pertahanan yang berbentuk
empat persegi panjang yang dikelililngi oleh pagar yang terbuat dari
batu-batu. Tembok bagian luar ditanami bambu berduri, dan pada bagian
paling luar dari benteng pertahanan itu dibuat selokan atau got yang
dalam untuk mempersulit musuh masuk ke dalam benteng. Pintu msuk hanya
dibuat beberapa buah dengan ukuran kecil dan sempit, sehingga musuh yang
masuk ke dalam benteng tidak dapat masuk secara serentak. Pintu
pertahanan tersebut dapat dibuka dan ditutup dengan suatu alat
pengangkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar