Inilah kisah tentang persoalan negeri
bernama Indonesia. Awal mulanya adalah ketika pemerintahan yang sudah berumur
32 tahun mencapai puncak kerapuhan. Para kawulanya sudah tidak percaya sehingga
kejadian sepele sekalipun sudah cukup membentuk ular antrean panjang di depan
kasir bank, untuk menarik uangnya.
Dan marilah bandingkan dengan
apa yang terjadi di negeri bernama Argentina, sekarang
ini, dengan Indonesia, masa 1997-1998:
Di Argentina pemerintah langsung
membekukan semua simpanan di bank. Pokoknya bank dilarang buka. Akibatnya orang
kaya yang punya uang banyak terpukul hebat. Mereka marah ; kekayaannya hilang.
Orang-orang miskin juga marah karena uang mereka yang sedikit juga hilang. Tapi
apalah artinya menjadi sedikit lebih miskin. Penderitaan orang yang tadinya
kaya raya lalu tiba-tiba menjadi miskin tentu lebih menyakitkan daripada
penderitaan orang miskin yang menjadi sedikit lebih miskin lagi.
Yang jelas, karena orang kayanya marah
maka gerakan politik marak. Pemerintahan berkali-kali ganti tanpa ada solusi.
Sementara orang miskin yang marah cuma bisa menjarah. Ujungnya ya sama,
penjarahan dan kekacauan merajalela sehingga menciptakan iklim, yang kemudian
menyuburkan gerakan politik. Sampai sekarang masih kacau. IMF tak berdaya.
Indonesia lain. Pemerintah tak mau
merugikan orang yang menyimpan uang di bank, dan langsung memutuskan jadi
bandar yang menalangi segala simpanan. Ada yang namanya mekanisme penjaminan
pemerintah yang intinya adalah: pokoknya semua uang yang ada di bank, semua
tagihan apa pun yang ada di bank, berapapun jumlahnya, milik siapapun, akan
dibayar kembali oleh pemerintah.
Kebijakan Indonesia membuat orang kaya
terselamatkan. Mereka senang ; uangnya aman. Memang ada sedikit rusuh dan jarah
menjarah, tapi semua orang juga tahu kalau ada bau rekayasa tentara di balik
kerusuhan dan jarah menjarah itu.
Pada garis besarnya, orang miskin cuek
bebek. Inilah cilakanya ; mereka cuek karena tidak tahu bahwa kebijakan ini
sebenarnya bisa dirumuskan menjadi satu kalimat : 'pemerintah menyelamatkan
orang kaya dengan keringat dan air mata orang miskin.'
Jaminan Untuk Konglomerat
Mengapa demikian? Begini. Dengan adanya jaminan dari pemerintah, maka terciptalah sebuah lubang besar bagi orang-orang kaya dan konglomerat pemilik bank untuk mengeruk duit gratis. Mereka ramai-ramai mengaku banknya mendapat masalah. Mereka mengaku nasabahnya ramai-ramai menarik simpanan. Pemerintah harus menalangi, karena sudah berjanji akan memberi jaminan atas segala tagihan yang ada di bank, siapapun yang punya, dan berapapun jumlahnya.
Mengapa demikian? Begini. Dengan adanya jaminan dari pemerintah, maka terciptalah sebuah lubang besar bagi orang-orang kaya dan konglomerat pemilik bank untuk mengeruk duit gratis. Mereka ramai-ramai mengaku banknya mendapat masalah. Mereka mengaku nasabahnya ramai-ramai menarik simpanan. Pemerintah harus menalangi, karena sudah berjanji akan memberi jaminan atas segala tagihan yang ada di bank, siapapun yang punya, dan berapapun jumlahnya.
Maka mengucurlah duit-duit yang
disebut Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Bahkan antar pemilik bank pun
bikin kongkalikong. Dibikinlah tagihan antarbank, seolah-olah bank A punya
tagihan pada bank B. Maka ketika bank A menagih dan bank B mengaku bokek, ya
pemerintah dong yang bayar ---kan sudah ada jaminan tadi.
Inilah pesta pora bejat para orang
kaya, yang nanti tagihannya akan dibayar oleh orang-orang miskin.
Ketika keadaan reda, pemerintah
menagih pada pemilik bank. "Sampeyan harus tanggung jawab."
"Siap bapak, silakan sita aset-aset saya."
"Siap bapak, silakan sita aset-aset saya."
Dan aset-aset yang direlakan sepenuh
hati itu aset-aset bodong karena dari dulu para bankir menarik duit rakyat
untuk bikin proyek-proyek bodong. Selisih duitnya dikantungi. Jadi, para orang
kaya bejat tadi mendapat untung mendadak dua kali.
Pertama mereka dapat duit BLBI. Kedua
mereka bisa menyelesaikan persoalan dengan proyek-proyek bejat. Sebab pada
suatu titik jelas kalau kredit-kredit yang disalurkan secara serampangan --dan
umumnya untuk grup sendiri-- bakal macet. Mumpung keadaan lagi kacau balau,
serahkan saja semua aset bodong tadi ke pemerintah sebagai bentuk tanggung
jawab. Beres.
Lebih dari itu --atas nama upaya
penyehatan bank-- pemerintah juga mengumpulkan seluruh aset busuk di bank untuk
dipool jadi satu. Sebagai gantinya pemerintah menerbitkan surat hutang dengan
janji akan ada bunga yang akan dibayar setiap tahun. Bunga inilah yang menjadi
darah bagi bank untuk hidup.
Oke, perbankan tidak ambruk. Ekonomi
tidak rusuh. Tapi, pemerintah sekarang harus memikul aset bodong yang nilainya
ditaksir tak lebih dari 20% dari total uang yang sudah dikeluarkan.
Kembali lagi ke orang miskin, karena
tagihan atas kerugian ini nanti harus dibayar oleh orang-orang miskin. Padahal
sebagian saham bank-bank yang ditolong itu, ternyata masih dimiliki oleh
orang-orang kaya. Bedanya, dulu mereka mayoritas sekarang harus rela berbagi
dengan pemerintah.
Subsidi Orang Miskin
Waktu pun lewat dan sekarang pemerintah mulai harus menunaikan kewajiban. Akibatnya, anggaran tersedot untuk menambal uang yang dulu dibayarkan ke bankir-bankir itu. Bunga obligasi untuk penyelamatan bank harus dibayar. Pemerintah terjebak sebuah masalah klasik: kehabisan duit, tidak punya cash flow yang cukup untuk menjalankan negara.
Waktu pun lewat dan sekarang pemerintah mulai harus menunaikan kewajiban. Akibatnya, anggaran tersedot untuk menambal uang yang dulu dibayarkan ke bankir-bankir itu. Bunga obligasi untuk penyelamatan bank harus dibayar. Pemerintah terjebak sebuah masalah klasik: kehabisan duit, tidak punya cash flow yang cukup untuk menjalankan negara.
Solusinya: menunda membayar utang,
memangkas pengeluaran yang bisa dipangkas --subsidi minyak, anggaran kesehatan,
pendidikan, dan semua urusan yang diperlukan orang miskin-- atau mengutip
jargon UUD 1945 ; menunda proyek-proyek yang berguna untuk hajat hidup orang
banyak.
Yang paling cilaka adalah semua tarif
pajak kalau sebisanya digenjot habis-habisan. Perusahaan negara diinstruksikan
menaikkan penghasilan. Jadi jangan heran kalau tarif telepon, kereta api, kapal
laut, hingga tarif berak di kakus terminal harus naik.
Kebijakan seperti ini tentu saja lebih
memukul orang miskin ketimbang si kaya. Apalagi orang kaya tadi sudah terlebih
dahulu mendapat kenikmatan dari penjaminan pemerintah, maupun pengucuran duit
yang mengatasnamakan penyelamatan bank.
Jadi, sekarang orang miskin memang
makin sengsara. Ssemua-semua jadi mahal. Nyaris tak ada lagi penyelenggaraan
jaminan sosial oleh negara --darimana duitnya, wong pemerintahnya kesulitan
cash flow).
Pajak makin digenjot tapi layanan
publik makin menurun. Mari kita lihat empat fungsi dasar
Kesehatan? Pelayanan dasar yang
diberikan puskesmas makin menurun. Orang miskin harus kian menderita dalam hal
pelayanan kesehatan, sedangkanb orang kaya tidak perduli karena mereka masih
mampu mencari dan membayar pelayanan pribadi yang kualitasnya sangat jauh lebih
baik. Yang kelas Jaguar bisa terbang ke Singapura.
Keamanan? Semua orang di kompleks, di
RT, di jalan besar tentu masih harus membayar iuran hansip atau satpam. Itupun
harus rela diberikan tanpa ada jaminan bebas rampok. Pemerintah tak punya duit
untuk mengongkosi polisi secara lebih layak. Walhasil polisinya korupsi.
Orang miskin punya cara sendiri untuk
mengatasi keamanan. Ini mungkin barbar, tapi bisa menjadi hiburan alternatif
--maklum satu-satunya hiburan paling-paling cuma nonton TV, yang lagi-lagi
belum tentu sehat karena isinya lagi-lagi kelakuan busuk orang kaya di
sinetron. Cara itu adalah membakar hidup-hidup penjahat teri yang tertangkap.
Harap maklum lagi, mereka memang tidak
mengerti tentang penjahat kakap kaya raya yang sebenarnya membuat hidup mereka
sengsara seperti sekarang ini.
Transportasi? Cobalah, naik mobil dari
Jakarta ke Bandung, hancur lebur. Minimal lima enam jam, macetnya enggak
ketulungan. Kalau mau agak nyaman bisa lewat tol, tapi ini harus bayar lagi
--bukan pemerintah yang menyediakan. Orang kaya masih mampu lah bayar tol dan
naik mobil sendiri. Coba bagaimana nasib orang miskin yang kini kian
hancur-hancuran terhimpit pelayanan transportasi publik yang kian buruk. Nyawa
menjadi kian murah.
Pendidikan? Amit-amit. Orang kaya bisa
saja mengirim anaknya ke sekolah swasta atau ke luar negeri. Yang miskin
terpaksa ke sekolah negeri yang sudah lama jadi sarang korupsi.
Nah, sudah jelas kan. Pemerintah
kesulitan cash flow untuk menyelamatkan ekonomi (baca: orang-orang kaya).
Bebannya kudu dipikul lebih berat oleh orang miskin.
Jadi, mana lebih enak solusi Argentina
--semuanya jadi miskin hancur-hancuran-- atau solusi ala Indonesia yang orang
kaya makin kaya, pejabat makin korup dan kaya, dan partai politik kian gendut
kasnya. Lantas semua itu rekening tagihan dibayar oleh orang miskin, yang
sekarangn ini untuk hidup sehari-hari saja sudah memikul beban yang lebih
berat.
Maka marilah kita pekikkan; HIDUP
ORANG MISKIN INDONESIA, yang sudah mensubsidi pejabat negara yang korup dan
para orang kaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar