Marhaenisme diambil dari nama marhaen yang
merupakan sosok petani miskin yang ditemui sukarno. Kondisi prihatin yang
dialami seorang petani miskin itu telah menerbitkan inspirasi bagi sukarno
untuk mengadopsi gagasan tentang kaum proletar yang khas marxisme. Belum
diketahui dengan pasti – sebab sukarno hanya menceritakan pertemuannya saja –
kapan pertemuan dengan petani itu belangsung. Sehingga banyak pihak yang
mempertanyakan, benarkah ada pertemuan itu? Ataukah pertemuan itu hanya rekaan
sukarno saja? Belum ada jawaban pasti.
Namun
dalam penyambung lidah rakyat (cindy adams)
ia bercerita mengenai pertemuan itu terjadi di bandung selatan yang daerah
persawahannya terhampar luas. Ia menemui seorang petani yang menggarap sawahnya
dan menanyakan kepemilikan dan hasil dari sawah itu. Yang ia temukan adalah
bahwa walaupun sawah, bajak, cangkul adalah kepunyaan sendiri dan ia
mengejakannya sendiri hasil yang didapat tidak pernah mencukupi untuk istri dan
keempat anaknya. Petani itu bernama marhaen.namun, yang jelas, sukarno
mengembangkan gagasan sentral marhaenisme jelas-jelas bersumber pada marxisme.
Bahkan, banyak yang menyatakan bahwa marhaenisme merupakan marxisme yang
diterapkan di indonesia.
Sejak 1932, ideologi marhaenisme telah mewarnai
wacana politik di indonesia. Pada 4 july 1927 ia mendirikan pni dimana
marhaenisme menjadi asas dan ideologi partai di tahun 1930-an. Dalam bukunya
berjudul indonesia menggugat, sukarno sangat menekankan pentingnya penggalangan
massa untuk sebuah gerakan ideologis. Menurut penafsiran sutan syahrir,
marhaenisme sangat jelas menekankan pengumpulan massa dalam jumlah besar. Untuk
ini, dibutuhkan dua prinsip gerakan yang kelak dapat dijadikan pedoman dalam
sepak-terjang kaum marhaenis. Ditemukanlah dua prinsip marhaenisme, yakni sosio-nasionalisme
dan sosio-demokrasi. Untuk menjelaskan kedua prinsip itu, sukarno telah
mengadopsi pemikiran dari jean jaurhs (sosialis) dari perancis dan karl kautsky
(komunis) dari jerman. Ajaran jaurhs yang melawan sistem demokrasi parlementer
digunakan oleh sukarno untuk mengembangkan sikap para marhaenis yang wajib taat
pada pemimpin revolusi, tanpa boleh banyak tanya soal-soal yang pelik dalam
bidang politik.
Sedangkan dari karl kautsky, sukarno makin dalam
mendapatkan keyakinan bahwa demokrasi parlementer merupakan sistem masyarakat
borjuis yang tidak mengenal kasihan pada kaum yang miskin. Bahkan didalam
bukunya yang berjudul “dibawah bendera revolusi”, sukarno benar-benar
terpengaruh oleh kautsky, dengan menyatakan bahwa seseorang tidak perlu untuk
menjadi komunis jika hanya ingin mencermati demokrasi sebagai benar-benar
produk masyarakat borjuis.
Selanjutnya sukarno menyatakan bahwa setiap
marhaenis harus menjadi revolusioner sosial, bukan revolusioner borjuis, dan
sosok itu dijuluki sukarno sebagai sosio-nasionalisme atau nasionalisme
marhaenis. Namun, pada 26 november 1932 di yogyakarta, sukarno menandaskan
bahwa partai indonesia dimana ia berkumpul, tidak menginginkan adanya
pertarungan kelas. Disini jelas sukarno memperlihatkan awal watak
anti-demokrasinya dan hendak menafikan keberadaan pertarungan kelas sebagai tak
terpisahkan untuk memperjuangkan kelas lemah yang tertindas.
Kediktatoran sukarno juga mulai terlihat sejak
konsep marhaenisme berusaha diwujudkannya menjadi ideologi partai. Syahrir dan
hatta yang memperkenalkan kehidupan demokratis didalam partindo (partai
indonesia) pelan-pelan dipinggirkan dan kehidupan partai mulai diarahkan pada
disiplin ketat dan tunduk pada pucuk pimpinan. Untuk menempuh ini sukarno tidak
menggunakan cara yang ditempuh oleh lenin yang pernah menjelaskan secara logis
kepada kelompok mesheviks ketika lenin menjadi diktator. Jalan yang ditempuh sukarno
hanyalah sibuk dengan penjelasan-penjelasan pentingnya keberadaan partai
pelopor yang memiliki massa besar.
Bagi sukarno, menegakkan ideologi marhaenisme lebih
penting ketimbang membangun kehidupan demokratis. Sembari mengutip karl
liebknecht, ideolog komunis jerman, sukarno menegaskan bahwa massa harus dibuat
radikal dan jangan beri kesempatan untuk pasif menghadapi revolusi. Meski kelak
sesudah kemerdekaan tercapai, penganut marhaenisme cenderung bergabung dengan
partai murba, namun marhaenisme ini lebih menyepakati tafsiran tan malaka
tentang marhaenisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar